Kuhirup
kopi panas itu penuh kenikmatan
Kuciumi aromanya yang khas dan kuhisap sari patinya
Kugigiti bulir bulir kecil kopi itu sambil kuresapi kegurihan tubuhnya
Ia mulai bergulir dilidahku dan rasa itu mencapai kepuasannya,
Kuciumi aromanya yang khas dan kuhisap sari patinya
Kugigiti bulir bulir kecil kopi itu sambil kuresapi kegurihan tubuhnya
Ia mulai bergulir dilidahku dan rasa itu mencapai kepuasannya,
Kuhembuskan asap
putih rokok itu hingga perlahan menyebar
Mengalirkan
aroma bau khas tembakau yang menyesakkan
Membius menggelorakan dan menghabiskan nafasku
Perlahan kuletakkan dan kutekan berputar hingga bara itu sirna
Membius menggelorakan dan menghabiskan nafasku
Perlahan kuletakkan dan kutekan berputar hingga bara itu sirna
Secangkir
kopi adalah awal mula kehidupan
Yang hangat yang memberi semangat dan mengalirkan gairah
Kita akan melangkah dengan gagah memulai kodrat kita
Pahitnya tantangan dan manisnya keberhasilan
Yang hangat yang memberi semangat dan mengalirkan gairah
Kita akan melangkah dengan gagah memulai kodrat kita
Pahitnya tantangan dan manisnya keberhasilan
itulah hidup
Sebatang Rokok
adalah pelengkap sempurna
Tentang racun dunia dan makna hidup
Yang dihirup dan terhirup pada tiap tarikan nafas
Hingga rasa sakit itu datang untuk menghapus sebagian dosa
Kafein dan Nikotin itu biarlah bersamaku
Kalian jadi punya contoh cermin buruk tentang hidup
Tentang racun dunia dan makna hidup
Yang dihirup dan terhirup pada tiap tarikan nafas
Hingga rasa sakit itu datang untuk menghapus sebagian dosa
Kafein dan Nikotin itu biarlah bersamaku
Kalian jadi punya contoh cermin buruk tentang hidup
Secangkir
kopi dan sebatang rokok ku lewati hari ini dengan pertanyaan.
”adakah cinta
untukku untuk esok hari?”.
Sementara asbak rokok sudah mulai penuh dengan belasan batang rokok yang kuhisap semalam,
dengan demikian berpuluh puluh lubang bertambah di paru paruku,
entahlah bagiku rokok adalah sahabat sejatiku.
Kutengok
jendelaku yang kayunya sudah mulai lapuk,
penjaja keliling sudah mulai
bertarung dengan dingin malam,
hanya untuk mengejar rupiah untuk menghidupi
keluarganya.
Sementara
hampir Seperempat abad bukan waktu yang singkat.
hampir Seperempat abad bukan waktu yang singkat.
Cerita atau lebih mendekat pada
sebuah legenda, terjadi dengan haluan yang tidak jelas akan kemana menepi.
Kehidupanku seperti angin tak dapat kulihat bagaimana bentuk rupanya karena
sampai sekarang ini aku belum melihat titik kemana kaki hidupku akan melangkah,
setidaknya aku masih bisa berharap dan bercita-cita agar hidupku bermakna,
paling tidak untuk diriku sendiri terlebih orang-orang yang berada si sekitarku.
Kata-kata aku tak tahu lagi dengan kalimat yang bagaimana kulukiskan perasaanku
saat ini, kegamangan, kebingungan, entah perasaan apa lagi yang menari-nari di
kepala dan di dadaku.
Inikah
hidup?’
entahlah, kebingungan ini telah menjelma seperti sebuah bom waktu yang
memiliki daya ledak yang maha dahsyat dan aku tak tahu kapan itu akan meledak
dan bagaimana atau apa yang akan terjadi pasca ledakan itu?.
apakah aku akan
ikut hancur dan terporak poranda bersamanya atau kebingungan itu sendiri yang
akan lenyap untuk selama-lamanya? kuharap begitu.
Hidupku
menyerupai sebuah simponi karya kelas jelata, monoton, lebih pada syair-syair
yang berisi tentang kesedihan proletarier yang dimarginalkan oleh nasib, yang
tercipta oleh kebodohannya sendiri.
Aku muak, muak pada kehidupan yang
manusia-manusia munafik yang mementingkan cara berbicara ketimbang cara
bertindak, juga muak pada sifat yang tidak menghormati hidup orang lain, yang
merasa dirinya lebih baik dari orang lain.
Tubuhku
adalah terjemahan dari sebuah hikayat kemanusiaan yang memiliki sebuah kisah
tentang perjalanan cinta, sayap-sayap ingatanku masih menyisakan sosok
perempuan masa kini yang menjunjung tinggi kesetiaan. Sosok perempuan yang
mungkin takkan pernah akan terhapuskan dari ingatanku meskipun perempuan itu belum sempat aku miliki, sosok yang penuh pesona,
bagaikan sekuntum melati yang tersiram ratusan tetes embun pada suatu pagi.
Bayangan
itu terus menari-nari di depan mataku, namun takdir tidak menghendakinya.
Beberap hari ini aku masih mencaoba dan terus mencoba
untuk menghapus sosok itu, sembari menyusun konsentrasiku untuk menggarap
sesuatu yang sudah lama terabaikan, yang merupakan syarat yang pernah
diberikannya padaku, yah… semua yang pernah menjadi janjikan akan tetap ku
perjuangkan, serumit apapun itu.
Paling tidak sekarang aku ingin memberikan ini
kepada orang tuaku yang sudah beranjak semakin tua, paling tidak aku ingin
memberikan setitik kebahagiaan kepada mereka.
Sudah
gilakah diriku? entah…
kucoba rebahkan tubuh penatku diatas tempat tidurku,
mencoba bernegosiasi dengan pikiran untuk melupakan peristiwa-peristiwa yang
terjadi dalam hidupku, ku matikan lampu kamarku namun kegelapan justru
mekin memperjelas dan mempertegas kesunyian itu, sebuah sosok seakan melambai
mencoba meraihku dan ku ulurkan tanganku coba untuk merengkuh tangannya, namun
tanganku tak sampai…
Terlalu jauh untuk ku raih, sementara aku sudah terlalu
payah, oleh keletihan yang amat sangat, terlalu banyak peristiwa-peristiwa yang
membuatku ingin segera beranjak darinya.
Namun
aku tetap gelisah, ku miringkan badanku ke arah yang sudah berkali kali pernah
ku lakukan, namun sekuat aku berusaha, sekuat itu pula bayangan itu
menggangguku, seolah memaksaku untuk melakukan sesuatu yang aku sendiri tidak
tahu.
Hampir seperempat abad ini banyak hal yang telah tertanam di dalam hati lalu menjelma
manjadi sebuah gunungan hasrat yang tiada terlebihi oleh apapun di dunia ini,
hasrat itu menginginkan pribadiku tereinkarnasi dalam sebuah pribadi yang
sederhana namun memiliki penglihatan setajam elang, pikiran setajam pisau
cukur, perabaan atau intuisiku lebih peka dari ubur-ubur, pendengaranku dapat
lebih menangkap musik dan ratap tangis kehidupan, supaya aku tidak akan menjadi
manusia takabur, manusia yang lupa pada bagaimana dan dimana peradabanya
dimulai.
Sementara
kakiku semakin letih melangkah, bahuku terlalu berat menanggung beban yang lama
menggayut. Yang terkadang membatasi ruang gerakku, namun pikirankulah yang
semakin lama semakin jauh melayang mengitari langit-langit kepalaku,
pikiran tentang sekuntum bunga yang kutemukan pada suatu hari yang tak bernama.
Bunga itulah yang tumbuh dan berakar didalam hatiku. Bunga yang aromanya hanya
mampu terwakili oleh kembang setaman, dimana bidadari turun dan bermain main
didalamnya. Hatiku luluh lantak hanya oleh sekuntum bunga, bunga yang sama
sekali tiada berduri, tapi sayangnya ada orang lain yang sudah merusaknya. Saya ingin sekali merawatnya, namun sayangnya bunga itu tidak memberikan respon positif dan mengabaikanku begitu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar