Senin, 18 April 2016

Secangkir kopi dan sebatang rokok adalah awal mula kehidupan




Kuhirup kopi panas itu penuh kenikmatan
Kuciumi aromanya yang khas dan kuhisap sari patinya
Kugigiti bulir bulir kecil kopi itu sambil kuresapi kegurihan tubuhnya
Ia mulai bergulir dilidahku dan rasa itu mencapai kepuasannya
,  
Kuhembuskan asap putih rokok itu hingga perlahan menyebar
Mengalirkan aroma bau khas tembakau yang menyesakkan
Membius menggelorakan dan menghabiskan nafasku
Perlahan kuletakkan dan kutekan berputar hingga bara itu sirna

Secangkir kopi adalah awal mula kehidupan
Yang hangat yang memberi semangat dan mengalirkan gairah
Kita akan melangkah dengan gagah memulai kodrat kita
Pahitnya tantangan dan manisnya keberhasilan
itulah hidup
Sebatang Rokok adalah pelengkap sempurna
Tentang racun dunia dan makna hidup
Yang dihirup dan terhirup pada tiap tarikan nafas
Hingga rasa sakit itu datang untuk menghapus sebagian dosa
Kafein dan Nikotin itu biarlah bersamaku
Kalian jadi punya contoh cermin buruk tentang hidup
Secangkir kopi dan sebatang rokok ku lewati hari ini dengan pertanyaan.
”adakah cinta untukku untuk esok hari?”.

Sementara asbak rokok sudah mulai penuh dengan belasan batang rokok yang kuhisap semalam, 
dengan demikian berpuluh puluh lubang bertambah di paru paruku,
 entahlah bagiku rokok adalah sahabat sejatiku.
Kutengok jendelaku yang kayunya sudah mulai lapuk, 
penjaja keliling sudah mulai bertarung dengan dingin malam, 
hanya untuk mengejar rupiah untuk menghidupi keluarganya.
Sementara
hampir Seperempat abad bukan waktu yang singkat.
Cerita atau lebih mendekat pada sebuah legenda, terjadi dengan haluan yang tidak jelas akan kemana menepi.
Kehidupanku seperti angin tak dapat kulihat bagaimana bentuk rupanya karena sampai sekarang ini aku belum melihat titik kemana kaki hidupku akan melangkah, setidaknya aku masih bisa berharap dan bercita-cita agar hidupku bermakna, paling tidak untuk diriku sendiri terlebih orang-orang yang berada si sekitarku. 
Kata-kata aku tak tahu lagi dengan kalimat yang bagaimana kulukiskan perasaanku saat ini, kegamangan, kebingungan, entah perasaan apa lagi yang menari-nari di kepala dan di dadaku.
Inikah hidup?’ 
entahlah, kebingungan ini telah menjelma seperti sebuah bom waktu yang memiliki daya ledak yang maha dahsyat dan aku tak tahu kapan itu akan meledak dan bagaimana atau apa yang akan terjadi pasca ledakan itu?.
apakah aku akan ikut hancur dan terporak poranda bersamanya atau kebingungan itu sendiri yang akan lenyap untuk selama-lamanya? kuharap begitu.

Hidupku menyerupai sebuah simponi karya kelas jelata, monoton, lebih pada syair-syair yang berisi tentang kesedihan proletarier yang dimarginalkan oleh nasib, yang tercipta oleh kebodohannya sendiri. 
Aku muak, muak pada kehidupan yang manusia-manusia munafik yang mementingkan cara berbicara ketimbang cara bertindak, juga muak pada sifat yang tidak menghormati hidup orang lain, yang merasa dirinya lebih baik dari orang lain.

Tubuhku adalah terjemahan dari sebuah hikayat kemanusiaan yang memiliki sebuah kisah tentang perjalanan cinta, sayap-sayap ingatanku masih menyisakan sosok perempuan masa kini yang menjunjung tinggi kesetiaan. Sosok perempuan yang mungkin takkan pernah akan terhapuskan dari ingatanku meskipun perempuan itu belum sempat aku miliki, sosok yang penuh pesona, bagaikan sekuntum melati yang tersiram ratusan tetes embun pada suatu pagi.

Bayangan itu terus menari-nari di depan mataku, namun takdir tidak menghendakinya.
Beberap hari ini aku masih mencaoba dan terus mencoba untuk menghapus sosok itu, sembari menyusun konsentrasiku untuk menggarap sesuatu yang sudah lama terabaikan, yang merupakan syarat yang pernah diberikannya padaku, yah… semua yang pernah menjadi janjikan akan tetap ku perjuangkan, serumit apapun itu. 
Paling tidak sekarang aku ingin memberikan ini kepada orang tuaku yang sudah beranjak semakin tua, paling tidak aku ingin memberikan setitik kebahagiaan kepada mereka.
Sudah gilakah diriku? entah… 
kucoba rebahkan tubuh penatku diatas tempat tidurku, mencoba bernegosiasi dengan pikiran untuk melupakan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupku, ku matikan lampu kamarku namun kegelapan justru mekin memperjelas dan mempertegas kesunyian itu, sebuah sosok seakan melambai mencoba meraihku dan ku ulurkan tanganku coba untuk merengkuh tangannya, namun tanganku tak sampai…
Terlalu jauh untuk ku raih, sementara aku sudah terlalu payah, oleh keletihan yang amat sangat, terlalu banyak peristiwa-peristiwa yang membuatku ingin segera beranjak darinya.
Namun aku tetap gelisah, ku miringkan badanku ke arah yang sudah berkali kali pernah ku lakukan, namun sekuat aku berusaha, sekuat itu pula bayangan itu menggangguku, seolah memaksaku untuk melakukan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu.

Hampir seperempat abad ini banyak hal yang telah tertanam di dalam hati lalu menjelma manjadi sebuah gunungan hasrat yang tiada terlebihi oleh apapun di dunia ini, 
hasrat itu menginginkan pribadiku tereinkarnasi dalam sebuah pribadi yang sederhana namun memiliki penglihatan setajam elang, pikiran setajam pisau cukur, perabaan atau intuisiku lebih peka dari ubur-ubur, pendengaranku dapat lebih menangkap musik dan ratap tangis kehidupan, supaya aku tidak akan menjadi manusia takabur, manusia yang lupa pada bagaimana dan dimana peradabanya dimulai.
Sementara kakiku semakin letih melangkah, bahuku terlalu berat menanggung beban yang lama menggayut. Yang terkadang membatasi ruang gerakku, namun pikirankulah yang semakin lama semakin jauh melayang mengitari langit-langit  kepalaku, pikiran tentang sekuntum bunga yang kutemukan pada suatu hari yang tak bernama. Bunga itulah yang tumbuh dan berakar didalam hatiku. Bunga yang aromanya hanya mampu terwakili oleh kembang setaman, dimana bidadari turun dan bermain main didalamnya. Hatiku luluh lantak hanya oleh sekuntum bunga, bunga yang sama sekali tiada berduri, tapi sayangnya ada orang lain yang sudah merusaknya. Saya ingin sekali merawatnya, namun sayangnya bunga itu tidak memberikan respon positif dan mengabaikanku begitu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar