Senin, 16 Mei 2016

Kumpulan Terbuang

Aku lelah pada matahari,panasnya terlalu membakar hatiku.
Aku letih pada bulan, cahayanya semakin menyilau gelisah.
Robekan demi robekan mencabik-cabik jiwa polos.

Aku terlena dalam cahaya penuh debu, menyesakan dada dan menutup alur logika.
Aku bermandikan cahaya sayangnya tak menyejukan, ia hanya terus menodai perih di hati.
Lemah yang kurasa seperti meneriaki kebodohan diri, terjerumus di arus derita tanpa kehangatan, hanya seberkas bau busuk dan caci maki menodai hari-hari.
Aku yang memang kerdil merasa semakin tak berarti, dan terinjak-injak oleh tapak nurani yang tak miliki sedikit moral.
Ruang sempit yang kumiliki bahkan tak sempat kujejaki sebagai pelarian, buruknya sikap seakan menghamburkan diri pada keterpakuan.
Aku bergumam dalam nalar, menyisihkan jejak-jejak hampa, telusuri sedikit kebaikan, ternyata hembusan angin semakin memapah diri pada kehancuran.
Sedih tak mampu bersahabat, tabah enggan berdamai dengan sabar, harga diri meronta mencari jejak-jejak kekuasaan. Parahnya hati terus tertawa dalam galau.
Entahkah piluh terus di gores oleh sembiluh terluka, ataukah terus teriris-iris  oleh pisau ambisi mencabik mutiara hati yang mampukan diri untuk coba berkilau.
Aku hampa dipendam hina, di dekap piluh, tak mau pergi atau sedikit meninggalkan jejak saja.
Ia hanya terus memendam menyisihkan sembiluh perih yang tak enyah dalam sembabnya ajal.
Aku yang tak berarti di matamu, selalu saja menginjak bingkai kodrat ,
seakan hanya benalu yang menyiksa taman suka.
Adakah sedikit rasa hargai atas usaha dan perjuangan hati.
Pulapun kekuatan ini seakan terhenti dipersimpangan setapak, tak ada arah tersesat mencari jati diri.
Kerasnya tuntutan tak sebading dengan tuntunan torehan,
sepenuhnya kewajiban tak sama pula dengan hak, seakan hak pencemoohan semata.
Aku yang lemah diterpa derasnya ombak, tenggelam di dasar nestapa.
Bergumul dengan sang dewata, harap bisa memberi iba.
Adakah keajaiban menyematkan mujizat.
Terlantar di pengasingan hati, mencoba menetapkan qualitas diri, mengangkat sederet harga diri agar setara dengan empunya kemenangan.
Tapi rasanya percuma, beku yang terpendam memaksa menantang ketidakpedulian.
Di tengah keangkuhan akan kaburnya suara nurani, kau tetap terdiam di sana mengagungkan dalih-dalih tak berakal, sedang aku menunggu kebaikan hati yang nyatanya tak memberi rasa kekal.
Aku masih di pengasingan, di dalam kelemahan, di tengah keletihan dan derita keangkuhan dirimu.
Di sini menunggu maaf dari ketulusanmu yang membekukan salju. Semoga waktu mampu menyadarkan diri, dan melepas piluhnya perih...di sini.
Aku akan menunggu hingga sampai pada NIRWANA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar